SURAT YANG BELUM SEMPAT DIKIRIM
Mataku terlalu berat untuk dibuka. Tubuhku tak bisa bergerak. Suara-suara itu tidak jelas, menggaung, berteriak. Apa aku ada di surga? Mereka semua berbaju putih, kabur, nanar. Perlahan aku mencoba fokus, mencoba mendengar dan melihat lebih baik.
“Yang gadis tidak tertolong Dok!” kata suara seorang perempuan.
“Pakai alat kejut! 1..2..3” kata suara seorang lelaki.
Terdengar suara keras setelah lelaki berbaju putih itu meletakan sebuah alat di dada Nadya. Tak ada reaksi, Nadya masih terbujur kaku di sebelahku.
“Masih tidak bernafas! Coba lagi. 1..2..3”
Mereka memakai alat itu lagi, tapi sia-sia.
Aku baru ingat semuanya. Ya, perlahan aku ingat semuanya. Dan ini bukan surga, ini...
ambulan.
***
“Hai, aku Nadya,” gadis kecil yang rambutnya dikepang dua itu menyapaku dengan lambaian tangan. Giginya yang ompong nampak jelas di senyumnya. Gadis itu memakai baju bergambar Donald Duck dengan rok berwarna merah dadu.
“Aku Raka,” balasku. Aku yang tadinya sedang asyik bermain mobil remote control langsung tersenyum ke arahnya. “Kamu baru pindah kesini?” tanyaku.
“Iya, beldua sama ayah. Laka juga tinggal disini?” Nadya cadel ternyata.
“Iya, itu rumahku,” jawabku sembari menunjuk rumah yang berada tepat di depan rumah Nadya.
Itulah kali pertama kami bertemu. Nadya berumur lima tahun dan aku pun berumur lima tahun. Kurang lebih hanya lebih tua darinya empat bulan. Nadya adalah gadis kecil yang tidak bisa berhenti bicara. Dia terus bercerita tentang nama-nama bonekanya, tentang rumah-rumahan, tentang film Land of Oz yang baru dia tonton pagi itu. Entah apalagi yang dia ceritakan, aku tidak fokus. Aku, anak kecil berumur lima tahun yang belum mengerti perasaan hangat apakah ini hanya merasa sangat senang bisa menjadi pendengar yang baik untuknya. Dan di situlah semuanya berawal.
***
“Raka, kamu sudah mengerjakan pe’er dari Bu Endang?” Nadya berlari menghampiri aku yang sedang berjalan di lorong sekolah pagi itu. Rambut kepang duanya berkibar-kibar.
“Sudah. Kenapa Nad?” tanyaku balik.
“Pinjam ya. Nanti aku traktir bakso deh.” Sudah tidak ada lagi gigi ompong Nadya di usianya yang ke-sembilan tahun.
Aku mengeluarkan buku dari tasku. “Nih pemalas, nanti taruh di mejaku saja.”
Aku dan Nadya memang masuk SD yang sama dan ada di kelas yang sama juga. SD swasta yang ibuku dan ayahnya Nadya sudah janjian untuk memasukkan kami berdua di dalamnya sewaktu kami berusia enam tahunan.
“Asiiik. Terimakasih Raka.” Nadya pergi menuju kelas. Aku menggelengkan kepala, memandangnya menjauh.
Bukan satu dua kali Nadya mencontek pekerjaan-rumah yang kukerjakan mati-matian semalaman. Terkadang dia juga meminta aku mengerjakan pekerjaan-rumahnya kalau dia harus ikut sang ayah tugas keluar kota. Mereka hidup berdua, aku tak berani bertanya dimana sang bunda. Tidak pernah sekali pun aku berkeberatan direpotkan oleh gadis manis penyuka es krim durian itu. Malah senang,
selain bisa menjadi pendengar yang baik, aku juga bisa menjadi penyelamatnya.
selain bisa menjadi pendengar yang baik, aku juga bisa menjadi penyelamatnya.
***
Aku berusaha mengangkat bibirku untuk tersenyum meski terpaksa ketika mendengar berita yang seakan menyambarku bagai petir di siang bolong.
“Sudah pasti Nad?” tanyaku yang duduk di bangku taman, tepat di sebelah Nadya.
Gadis berumur dua belas tahun itu mengangguk. Rambutnya tidak lagi dikuncir dua, dia sedang keranjingan bandana. Kulitnya tak lagi putih, berubah menjadi kecokelatan karena sering bermain sepeda gunung yang dibelikan ayahnya beberapa bulan yang lalu.
“Sampai kapan?” Aku benar-benar sudah tidak bisa lagi tersenyum.
“Enggak tahu Raka, ibuku yang meminta.” Nadya menatapku
Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi aku benar-benar tidak mau kehilangan dia.
Aku menepuk bahunya, “Kamu akan jadi turis ya. Nanti jangan lupa kirim foto di depan Eiffel.” Aku tertawa. Ya, tawa yang terlalu dipaksakan.
Nadya menunduk, mencengkram kuat celananya sendiri. “Aku kesal Raka. Aku enggak mau sekolah di Prancis,” suaranya semakin pelan, “Aku enggak mau jauh dari ayah, dari teman-teman, dari kamu.”
Kata-kata ‘dari kamu’ itu terulang-ulang terus di benakku. Entah mengapa aku merasa senang dia mengucapkan itu. Tapi aku hanya anak kecil yang belum juga mengerti perasaan apakah ini.
“Nad, kan nanti kita bisa chatting. Kalau kamu mau, kita juga....”
Belum selesai kalimatku, tiba-tiba Nadya mengecup pipiku lalu berlari ke arah sepedanya. Dia pulang meninggalkan jantungku berdebar sebelum akhirnya pergi ke tanah Eropa, meninggalkan jantungku masih dalam posisi yang sama.
Nadya sering mengirim foto-foto narsisnya selama di Prancis ke email-ku, kami juga sering chatting
memakai Yahoo Messenger. Dari setiap malam, lama-lama menjadi hanya tiga malam sekali, lalu satu minggu sekali, dua minggu sekali, satu bulan sekali, dua bulan sekali, hingga akhirnya tidak pernah lagi.
memakai Yahoo Messenger. Dari setiap malam, lama-lama menjadi hanya tiga malam sekali, lalu satu minggu sekali, dua minggu sekali, satu bulan sekali, dua bulan sekali, hingga akhirnya tidak pernah lagi.
Entahlah, mungkin Nadya sudah terlalu sibuk disana, aku tak tahu. Namun perasaan yang mulai bisa aku identifikasi ini tidak juga menghilang seiring dengan menghilangnya obrolan-obrolan kecil kami.
***
Nadya pulang untuk melanjutkan SMA di Indonesia, di sebuah SMA swasta yang dipilihkan ayahnya. Sementara aku dapat beasiswa di sekolah negeri.
Hari itu Nadya pulang. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, aku bisa bertemu lagi dengannya. Perasaanku tak menentu.
“Hai Nad,” sapaku di depan pintu rumahnya.
Gadis lima belas tahun itu memotong rambutnya seleher dengan poninya dibelah pinggir sebatas mata. Mungkin sedang trend di Prancis.
“Raka!” Dia memelukku. “Wah sekarang kamu lebih tinggi dari aku ya. Padahal dulu pendek sekali. Lo, ini kacamata gaul atau betulan?” Nadya mengomentari sambil mengucek-ngucek rambutku yang tidak lagi diponi seperti anak kecil. Sekarang aku lebih suka memotong rambutku pendek.
“Betulan Nad. Mataku minus ternyata. Mungkin terlalu banyak membaca.” Aku merapikan rambut.
Aku memang kutu buku. Semua jenis buku aku lahap, dari filosofi, teologi, bahkan sampai konspirasi. Ibu sampai memarahiku karena tahu anaknya berpikir terlalu dewasa, meski akhirnya beliau lega tatkala tahu aku dapat beasiswa.
Aku merasa senang bisa bertetangga lagi dengan Nadya. Saat itu aku sudah mulai paham apa yang sedang aku rasakan, meski di saat yang sama aku juga sedih untuk tahu bahwa Nadya mungkin merasakan lain.
Lucu betapa rasa yang kalau dalam kamus orang tua disebut ‘cinta monyet’ tersebut tidak juga hilang dari benakku meski kami sudah terpisah bertahun-tahun.
***
Pesta ulang tahun Nadya yang ke-tujuh belas. Malam itu di halaman rumahnya. Teman-teman Nadya nampak banyak dari kalangan borjuis. Mereka memandang aku, yang memang lebih suka berpenampilan sederhana. Mereka risih ketika aku datang dan membawakan bingkisan untuk Nadya. Tiga anak perempuan dengan dandanan super meriah menatapku dari atas sampai ke bawah sebelum berkomentar pada Nadya.
“Ini siapa Nad? Cowok kamu?”
“Bukan kok, hanya teman.” Nadya senyum terpaksa sambil meletakkan kado dariku di meja tanpa membukanya.
Ya, hanya teman. Hanya itu aku untuknya. Harusnya aku tidak menganggap lebih.
“Kirain kamu mau dengan cowok seperti ini,” kata anak perempuan yang lain.
“Nad, permisi dulu ya.” Aku mengundurkan diri, tidak betah.
Dari kejauhan aku bisa mendengar Nadya berucap pada tiga anak perempuan menyebalkan itu: “Enggak mungkin juga lah aku mau sama cowok kuper seperti itu.”
Yang lain tertawa.
Dia bukan lagi Nadya yang dulu aku kenal. Dia lebih mementingkan reputasinya. Sejak saat itu aku menciptakan jarak dengannya, hanya menyapa kalau secara tidak sengaja berpapasan. Meski sungguh ingin sekali aku tertawa bersamanya seperti dulu. Hingga....
***
Malam itu aku sedang bersepeda melewati taman tempat Nadya dahulu mengecup pipiku ketika melihat sosok tersebut menangis di bangku. Perempuan itu menutupi wajahnya sambil bersedu sedan. Meski begitu, aku dapat mengenali dia. Aku duduk di sebelahnya.
“Malam ini indah Nad. Lihat deh itu bintangnya banyak sekali,” aku membuka basa-basi.
Nadya buru-buru menghapus air matanya.
“Eh, Raka.” Dia memaksakan senyum.
“Mau cerita?” Aku membalas senyumnya.
“Enggak kenapa-kenapa kok?”
“Kamu ini ya, seperti baru kenal aku saja.” Aku meninju lengannya bercanda.
Nadya tertunduk.
“Aku diselingkuhi,” ucap perempuan berusia sembilan belas tahun itu pelan. Make-up-nya sudah berantakan karena air mata.
“Nadya, Nadya. Cowok bodoh mana yang menyia-nyiakan kamu? Biar aku santet.” Aku berusaha menghibur.
Nadya tak menjawab. Dia memelukku sambil menangis di pundakku. Aku diam. Ternyata perasaanku masih ada meski redup. Ternyata tidak bisa dibunuh meski sudah berulang kali aku coba. Melihat Nadya hancur seperti itu seperti ada bagian dari diriku yang hancur.
“Nad, kamu tahu enggak kenapa gelap kalau malam tiba?” tanyaku.
Nadya yang masih memelukku menggelengkan kepalanya. Tangisnya mulai reda.
“Bukan agar kita bisa mengutuk kegelapannya, tapi untuk mensyukuri keindahan kerlap-kerlip bintangnya. Percaya deh Nad, bahkan saat hidupmu gelap seperti ini, akan selalu ada cahaya yang membantu kamu menemukan jalan. Yang perlu kamu lakukan adalah mengikhlaskan dan bersyukur.”
Nadya perlahan melepaskan dirinya lalu menatap ke langit. Dia tersenyum.
“
Terima kasih ya.”
Terima kasih ya.”
Aku hanya membalas senyumnya. Kami berdua menatap bintang malam itu, entah berapa lama. Aku ingin waktu berhenti.
***
Hari ini adalah ulang tahunku yang ke-21. Aku tidak butuh bingkisan apapun darinya, namun aku sudah mempersiapkan sesuatu untuk perempuan istimewa penghuni rumah di depan rumahku itu: sebuah cincin dan surat. Aku sudah tidak peduli lagi dengan penolakan, perasaan ini harus aku ungkapkan.
“Selamat malam Tuan Putri,” sapaku di depan pintu rumahnya.
Perempuan dengan rambutnya yang sebahu, pipinya yang kemerahan dan senyumnya yang merekah, menyambutku.
“Apaan sih Raka.” Nadya mencubitku lalu berteriak ke arah rumah, “Ayah, kami pergi dulu ya.”
“Hati-hati, jangan pulang terlalu larut,” balas suara lelaki dari dalam rumah.
“Oh ya Raka, selamat ulang tahun ya,” kata Nadya. “Kenapa tidak dirayakan ramai-ramai?”
“Terima kasih. Enggak ah. Lebih baik dengan kamu saja. Lagipula tahun lalu sudah dipestakan. Mana hadiahnya?” candaku.
Nadya mengangguk-ngangguk. “Nanti setelah jalan-jalan. Kan repot kalau sekarang.” Balasnya.
Kami berangkat dengan motor tua, menuju keramaian kota, menonton film di sebuah mal, hingga setelah itu.
“Nad, aku mau mengajakmu makan malam di sebuah kafe. Keren deh, suasananya alam banget. Mau enggak?”
Nadya tersenyum mengangguk.
Di atas motor tua, Nadya melingkarkan tangannya di perutku. Sungguh jantungku akan menang jika detakannya disuruh balapan dengan motor ini.
Ketika tiba-tiba....
Sebuah mobil yang tidak mematuhi lampu merah menabrak kami dari perempatan. Semua menjadi gelap.
***
Mataku terlalu berat untuk dibuka. Tubuhku tak bisa bergerak. Suara-suara itu tidak jelas, menggaung, berteriak. Apa aku ada di surga? Mereka semua berbaju putih, kabur, nanar. Perlahan aku mencoba fokus, mencoba mendengar dan melihat lebih baik.
“Yang gadis tidak tertolong Dok!” kata suara seorang perempuan.
“Pakai alat kejut! 1..2..3” kata suara seorang lelaki.
Terdengar suara keras setelah lelaki berbaju putih itu meletakan sebuah alat di dada Nadya. Tak ada reaksi, Nadya masih terbujur kaku di sebelahku.
“Masih tidak bernafas! Coba lagi. 1..2..3”
Mereka memakai alat itu lagi, tapi sia-sia.
Aku baru ingat semuanya. Ya, perlahan aku ingat semuanya. Dan ini bukan surga, ini...ambulan.
Tubuhku terasa sakit semua hingga sulit bergerak. Aku menengok ke arah Nadya yang terbaring di sebelahku, ia benar-benar terpejam. Aku panggil namanya, ia tidak menyahut. Air mataku tidak terasa menetes, aku menggenggam tangan Nadya.
Aku belum membuat permohonan apapun di hari ulang tahunku ini. Jika boleh aku meminta, tolong jangan dulu panggil Nadya ke sisi-Mu.
Tidak ada respon. Nadya masih tak membuka matanya. Dokter dalam ambulan sudah menyerah.
“Suster, tolong catat tanggal kematian perempuan muda ini, lalu cek identitasnya,” Dokter itu berucap.
Jika harus kau panggil salah satu dari kami, panggil saja aku. Tapi tolong selamatkan perempuan yang aku sayangi ini.
Tanganku semakin kuat menggenggam tangan Nadya. Detak jantungku melemah.
Nadya tersedak, terbatuk, dia bangun. Nadya yang perlahan sadar langsung melihat ke arahku dan mengguncang-guncang tubuhku.
“Raka, bangun Raka!” Aku tersenyum, detak jantungku berhenti selamanya.
Dearest Nadya,
Butuh sepersekian detik untuk jatuh cinta padamu, namun butuh beberapa tahun untuk menunjukkannya. Terlalu tinggikah harapanku jika ingin bersanding di sebelahmu meski persandingan tersebut bukan semata untuk mengikatmu, melainkan untuk membahagiakanmu? Kau masih ingat ketika hari itu mengucap selamat tinggal dan mengecup pipiku? Kita memang berpisah, tapi hatiku terbawa bersamamu. Kau masih ingat ketika malam itu kita menatap bintang? Sesungguhnya bintang bukanlah pemeran utama saat itu, mereka hanyalah para cameo yang membuatmu bersinar jauh, jauh lebih indah. Aku telah melewati tahunan bersamamu, dan mampu melewati banyak tahun lagi bersamamu. Jika kata ‘sayang’ tidak berlebihan untuk memaparkan apa yang aku rasakan, maka izinkan aku mengucap ‘aku menyayangimu’. Tanpa batas waktu.
Milikmu, Raka
Surat yang belum sempat dikirim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar